Senin, 10 Desember 2012

vicky christinna barcelona

Liburan Musim Panas di Barcélona


“Vicky Cristina Barcelona” menceritakan sebuah kisah tentang Vicky, yang diperankan oleh Rebecca Hall, dan Cristina, yang diperankan oleh Scarlett Johansson, serta liburan musim panas mereka di Barcélona. Sebuah film drama yang menampilkan penampilan dari banyak actor dan aktris yang memukau. Sebut saja, Javier Bardem, Penélope Cruz, Kevin Dunn, Patricia Clarkson, dan Scarlett Johansson. Tentu, dengan nama-nama yang cukup dikenal dengan bakat acting mereka menjadi sebuah kekuatan tersendiri dalam menjamin film ini.
Film tahun 2008, yang merupakan salah satu official selection untuk Cannes, dibuat dan disutradarai oleh Woody Allen. Allen yang memang cukup dikenal dengan cerita, gaya narasi, dan penyutradaraan yang unik, untuk kesekian kalinya menawarkan sebuah kisah drama yang cukup baik.
Barcélona, salah satu kota di Spanyol ini mampu menjadi tujuan liburan Vicky dan Cristina. Keduanya memiliki cara berpikir yang sangat berbeda. Vicky lebih realistis, dan Cristina tampak tidak teratur, walaupun ia menganggapnya teratur. Liburan mereka menjadi sesuatu yang berbeda, ketika mereka bertemu dengan Juan Antonio, yang diperankan oleh Bardem. Juan Antonio begitu hidup di dalam seni. Ia adalah seseorang yang begitu attraktif dan menghibur. Juan mengajak mereka untuk berlibur ke Oviedo, dengan tujuan untuk bercinta dengan kedua gadis ini, walaupun Vicky selalu berusaha untuk menolaknya. Akhirnya mereka pun melakukan perjalanan ke Oviedo.
Di Oviedo, Vicky terus berusaha untuk melindungi Cristina dari rayuan-rayuan Juan. Tetapi, semua menjadi berubah ketika Cristina jatuh sakit. Hal ini membuat hanya Juan dan Vicky yang menikmati pemandangan Oviedo, sekaligus bertemu dengan Ayah Juan yang penyendiri. Ketertarikan mulai timbul pada Vicky, dan Ia sadar bahwa sebentar lagi Ia akan segera menikah dengan Doug, yang diperankan oleh Chris Messina.

Vicky hanya mampu menyimpan dalam hati. Hanya karena kesadaran karena dapat membuat situasi menjadi semakin runyam. Doug dengan sebuah kejutan, menyusul Vicky di Barcélona dan melangsungkan pernikahan mereka. Sedangkan Cristina memutuskan untuk tinggal bersama Juan Antonio. Keduanya pun menjalin cinta dan melepaskan hasrat mereka berdua.
Seseorang bernama Maria Eléna, diperankan oleh Penélope Cruz, yang ternyata adalah mantan istri Juan, kemudian muncul dalam kehidupan Juan dan Cristina. Maria Eléna adalah seseorang yang lebih jenius, dan gila dalam seni, serta menjadi sosok inspirasi bagi Juan. Walaupun pada awalnya Cristina merasakan sedikit ketidaknyamanan dengan kemunculan sosok Eléna, namun Eléna ternyata mampu menjadi seseorang yang menarik baginya. Juan dan Eléna menjadi sosok seperti instruktur fotografi bagi Cristina, sebab mereka merasa Cristina memiliki bakat terhadap fotografi. Ketiganya kemudian menjadi teman, dan sekaligus menjadi pecinta.
Juan dan Eléna menjadi akur, padahal mereka sudah bercerai. Keduanya merasa Cristina-lah yang merupakan bumbu yang hilang di dalam kehidupan mereka. Lama kelamaan, Cristina merasa lelah dan Ia menginginkan sesuatu yang lain. Ia memutuskan untuk meninggalkan keduanya. Alhasil, setelah Cristina pergi, Juan dan Eléna menjadi seperti dulu lagi, dan Eléna pun juga pergi.


Vicky, yang sudah menikah dengan  Doug, masih menyimpan perasaan terhadap Juan. Ia hanya berani untuk menyimpannya, dan hanya berterus terang kepada Judy, yang diperankan oleh Patricia Clarkson. Akhirnya, Cristina memutuskan untuk pergi ke Perancis, dan Vicky bersama suaminya, Doug, kembali membangun rumah tangga mereka di Amerika.
Film ini penuh dengan narasi. Narasi selalu digunakan Allen dalam film ini sebagai alat untuk memulai sebuah adegan. Selain itu, ada beberapa adegan dalam film ini yang hanya dijelaskan dengan narasi. Memang agak membosankan pada awalnya. Tetapi, itu gaya Allen. Memang film ini bukanlah sebuah film yang seperti biasanya. Sebab ini adalah sebuah drama yang sedikit menjurus ke film seni.
 

Selasa, 04 Desember 2012

PENYIARAN DI INDONESIA


Tanggal : 28 November 2012
Pengajar : Bapak Paulus ( Praktisi Penyiaran )

Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 merupakan dasar utama bagi pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Semangatnya adalah pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah publik harus dikelola oleh sebuah badan independen yang bebas dari campur tangan pemodal maupun kepentingan kekuasaan.
Berbeda dengan semangat dalam Undang-undang penyiaran sebelumnya, yaitu Undang-undang No. 24 Tahun 1997 pasal 7 yang berbunyi "Penyiaran dikuasai oleh negara yang pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah", menunjukkan bahwa penyiaran pada masa itu merupakan bagian dari instrumen kekuasaan yang digunakan untuk semata-mata bagi kepentingan pemerintah.
Proses demokratisasi di Indonesia menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali utama ranah penyiaran. Karena frekuensi adalah milik publik dan sifatnya terbatas, maka penggunaannya harus sebesar-besarnya bagi kepentingan publik. Sebesar-besarnya bagi kepentingan publik artinya adalah media penyiaran harus menjalankan fungsi pelayanan informasi publik yang sehat. Informasi terdiri dari bermacam-macam bentuk, mulai dari berita, hiburan, ilmu pengetahuan, dll. Dasar dari fungsi pelayanan informasi yang sehat adalah seperti yang tertuang dalam Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yaitu Diversity of Content (prinsip keberagaman isi) dan Diversity of Ownership (prinsip keberagaman kepemilikan).
Kedua prinsip tersebut menjadi landasan bagi setiap kebijakan yang dirumuskan oleh KPI. Pelayanan informasi yang sehat berdasarkan prinsip keberagaman isi adalah tersedianya informasi yang beragam bagi publik baik berdasarkan jenis program maupun isi program. Sedangkan prinsip keberagaman kepemilikan adalah jaminan bahwa kepemilikan media massa yang ada di Indonesia tidak terpusat dan dimonopoli oleh segelintir orang atau lembaga saja. Prinsip ini juga menjamin iklim persaingan yang sehat antara pengelola media massa dalam dunia penyiaran di Indonesia.
Apabila ditelaah secara mendalam, Undang-undang no. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran lahir dengan dua semangat utama, pertama pengelolaan sistem penyiaran harus bebas dari berbagai kepentingan karena penyiaran merupakan ranah publik dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Kedua adalah semangat untuk menguatkan entitas lokal dalam semangat otonomi daerah dengan pemberlakuan sistem siaran berjaringan.
Maka sejak disahkannya Undang-undang no. 32 Tahun 2002 terjadi perubahan fundamental dalam pengelolaan sistem penyiaran di Indonesia, dimana pada intinya adalah semangat untuk melindungi hak masyarakat secara lebih merata. Perubahan paling mendasar dalam semangat UU ini adalah adanya limited transfer of authority dari pengelolaan penyiaran yang selama ini merupakan hak ekslusif pemerintah kepada sebuah badan pengatur independen (independent regulatory body) bernama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Independen yang dimaksudkan adalah untuk mempertegas bahwa pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah publik harus dikelola oleh sebuah badan yang bebas dari intervensi modal maupun kepentingan kekuasaan. Belajar dari masa lalu dimana pengelolaan sistem penyiaran masih berada ditangan pemerintah (pada masa rezim orde baru), sistem penyiaran sebagai alat strategis tidak luput dari kooptasi negara yang dominan dan digunakan untuk melanggengkan kepentingan kekuasaan. Sistem penyiaran pada waktu itu tidak hanya digunakan untuk mendukung hegemoni rezim terhadap publik dalam penguasaan wacana strategis, tapi juga digunakan untuk mengambil keuntungan dalam kolaborasi antara segelintir elit penguasa dan pengusaha.
Terjemahan semangat yang kedua dalam pelaksanaan sistem siaran berjaringan adalah, setiap lembaga penyiaran yang ingin menyelenggarakan siarannya di suatu daerah harus memiliki stasiun lokal atau berjaringan dengan lembaga penyiaran lokal yang ada didaerah tersebut. Hal ini untuk menjamin tidak terjadinya sentralisasi dan monopoli informasi seperti yang terjadi sekarang. Selain itu, pemberlakuan sistem siaran berjaringan juga dimaksudkan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi daerah dan menjamin hak sosial-budaya masyarakat lokal. Selama ini sentralisasi lembaga penyiaran berakibat pada diabaikannya hak sosial-budaya masyarakat lokal dan minoritas. Padahal masyarakat lokal juga berhak untuk memperolah informasi yang sesuai dengan kebutuhan polik, sosial dan budayanya. Disamping itu keberadaan lembaga penyiaran sentralistis yang telah mapan dan berskala nasional semakin menghimpit keberadaan lembaga-lembaga penyiaran lokal untuk dapat mengembangkan potensinya secara lebih maksimal.

Powered By Blogger