Tanggal
: 28 November 2012
Pengajar
: Bapak Paulus ( Praktisi Penyiaran )
Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun
2002 merupakan dasar utama bagi pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Semangatnya adalah pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah publik harus dikelola oleh sebuah badan independen
yang bebas dari campur tangan pemodal maupun kepentingan kekuasaan.
Berbeda dengan semangat dalam
Undang-undang penyiaran sebelumnya, yaitu Undang-undang No. 24 Tahun 1997 pasal
7 yang berbunyi "Penyiaran dikuasai oleh negara yang pembinaan dan
pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah", menunjukkan bahwa penyiaran
pada masa itu merupakan bagian dari instrumen kekuasaan yang digunakan untuk
semata-mata bagi kepentingan pemerintah.
Proses demokratisasi di Indonesia
menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali utama ranah penyiaran. Karena
frekuensi adalah milik publik dan sifatnya terbatas, maka penggunaannya harus
sebesar-besarnya bagi kepentingan publik. Sebesar-besarnya bagi kepentingan
publik artinya adalah media penyiaran harus menjalankan fungsi
pelayanan informasi publik yang sehat. Informasi terdiri
dari bermacam-macam bentuk, mulai dari berita, hiburan, ilmu pengetahuan, dll.
Dasar dari fungsi pelayanan informasi yang sehat adalah seperti yang tertuang
dalam Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yaitu Diversity of Content
(prinsip keberagaman isi) dan Diversity of Ownership (prinsip
keberagaman kepemilikan).
Kedua
prinsip tersebut menjadi landasan bagi setiap kebijakan yang dirumuskan oleh
KPI. Pelayanan informasi yang sehat berdasarkan prinsip keberagaman isi
adalah tersedianya informasi yang beragam bagi publik baik berdasarkan jenis program
maupun isi program. Sedangkan prinsip keberagaman kepemilikan adalah
jaminan bahwa kepemilikan media massa yang ada di Indonesia tidak terpusat dan
dimonopoli oleh segelintir orang atau lembaga saja. Prinsip ini juga menjamin
iklim persaingan yang sehat antara pengelola media massa dalam dunia penyiaran
di Indonesia.
Apabila ditelaah secara mendalam,
Undang-undang no. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran lahir dengan dua semangat
utama, pertama pengelolaan sistem penyiaran harus bebas dari berbagai
kepentingan karena penyiaran merupakan ranah publik dan digunakan
sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Kedua adalah semangat untuk
menguatkan entitas lokal dalam semangat otonomi daerah dengan pemberlakuan
sistem siaran berjaringan.
Maka sejak disahkannya Undang-undang
no. 32 Tahun 2002 terjadi perubahan fundamental dalam pengelolaan sistem
penyiaran di Indonesia, dimana pada intinya adalah semangat untuk melindungi
hak masyarakat secara lebih merata. Perubahan paling mendasar dalam semangat UU
ini adalah adanya limited transfer of authority dari pengelolaan
penyiaran yang selama ini merupakan hak ekslusif pemerintah kepada sebuah badan
pengatur independen (independent regulatory body) bernama Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI). Independen yang dimaksudkan adalah untuk mempertegas
bahwa pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah publik
harus dikelola oleh sebuah badan yang bebas dari intervensi
modal
maupun kepentingan kekuasaan. Belajar dari masa lalu dimana
pengelolaan sistem penyiaran masih berada ditangan pemerintah (pada masa rezim
orde baru), sistem penyiaran sebagai alat strategis tidak luput dari kooptasi
negara yang dominan dan digunakan untuk melanggengkan
kepentingan kekuasaan. Sistem penyiaran pada waktu itu tidak hanya digunakan
untuk mendukung hegemoni rezim terhadap publik dalam
penguasaan wacana strategis, tapi juga digunakan untuk mengambil keuntungan
dalam kolaborasi antara segelintir elit penguasa dan pengusaha.
Terjemahan semangat yang kedua dalam
pelaksanaan sistem siaran berjaringan adalah, setiap lembaga
penyiaran yang ingin menyelenggarakan siarannya di suatu daerah harus memiliki stasiun
lokal atau berjaringan dengan lembaga penyiaran lokal yang ada didaerah tersebut. Hal ini
untuk menjamin tidak terjadinya sentralisasi dan monopoli
informasi seperti yang terjadi sekarang. Selain itu, pemberlakuan sistem siaran
berjaringan juga dimaksudkan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi daerah dan
menjamin hak sosial-budaya masyarakat lokal. Selama ini sentralisasi lembaga
penyiaran berakibat pada diabaikannya hak sosial-budaya masyarakat lokal dan
minoritas. Padahal masyarakat lokal juga berhak untuk memperolah informasi yang
sesuai dengan kebutuhan polik, sosial dan budayanya. Disamping itu keberadaan
lembaga penyiaran sentralistis yang telah mapan dan berskala nasional semakin
menghimpit keberadaan lembaga-lembaga penyiaran lokal untuk dapat mengembangkan
potensinya secara lebih maksimal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar